Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Kepala Badan Intelejen negara adidaya yang sangat maju yang baru diangkat adalah seorang antropolog wanita. Namanya, Blaise Metreweli, mungkin belum terlalu dikenal di Indonesia, namun pemikirannya, terutama dalam konteks reformasi intelijen Inggris (MI6) pasca-Perang Dingin, menawarkan pelajaran berharga bagi pengembangan intelijen di Indonesia.
Metreweli, seorang profesional intelijen senior dan pemikir strategis, mengusung gagasan tentang paradigma baru intelijen yang lebih adaptif, transparan (dalam batas tertentu), dan akuntabel di era modern. Blaise Metreweli memang memiliki latar belakang pendidikan antropologi.Ia kuliah Antropologi di Pembroke College, Cambridge University (The Economic Times, 16 Juni 2025; NDTV, 16 Juni 2025).
Setelah runtuhnya Tembok Berlin dan berakhirnya Perang Dingin, lanskap ancaman global berubah drastis. Intelijen tidak lagi hanya berfokus pada spionase antarnegara dan ideologi besar. Ancaman baru muncul dalam berbagai bentuk. Jaringan teroris yang beroperasi lintas batas menuntut pendekatan intelijen yang berbeda. Ancaman siber terhadap infrastruktur kritis dan keamanan data menjadi prioritas. Isu-isu non- tradisional ini mulai diakui memiliki implikasi keamanan yang serius. Penyebaran disinformasi dan narasi yang manipulatif menjadi alat perang modern.
Dalam konteks ini, Metreweli dan reformis intelijen lainnya di MI6 menyadari bahwa model intelijen lama yang tertutup dan hierarkis perlu beradaptasi. Paradigma baru menekankan pada: (1)Fleksibilitas dan Adaptasi (2) Kolaborasi Lintas Lembaga dan Internasional, (3) Teknologi dan Analisis Data.
Intelijen harus mampu dengan cepat menyesuaikan diri dengan jenis ancaman baru, bukan terpaku pada model musuh lama. Ancaman modern seringkali bersifat global dan membutuhkan kerja sama erat antar lembaga intelijen dalam negeri maupun dengan mitra internasional. Pemanfaatan teknologi canggih dan kemampuan analisis big data menjadi krusial untuk mengidentifikasi pola dan memprediksi ancaman.
Di negara-negara demokrasi, intelijen dituntut untuk lebih akuntabel kepada publik dan parlemen, serta beroperasi dalam koridor etika dan hukum, meskipun sifat pekerjaannya yang rahasia.
Pelajaran untuk Indonesia
Indonesia, dengan kompleksitas geopolitik dan tantangan keamanannya sendiri, bisa mengambil beberapa pelajaran penting dari pemikiran Metreweli dan reformasi di MI6. Indonesia perlu terus memperbarui doktrin intelijennya agar tidak terjebak pada ancaman masa lalu. Badan intelijen seperti Badan Intelijen Negara (BIN) dan unit intelijen lainnya harus proaktif dalam mengidentifikasi dan menghadapi ancaman nontradisional seperti terorisme siber, kejahatan transnasional, dan bahkan dampak keamanan dari krisis lingkungan.
Investasi dalam teknologi intelijen, terutama di bidang siber dan analisis data, sangat penting. Ini bukan hanya tentang membeli peralatan, tetapi juga mengembangkan sumber daya manusia yang terampil dalam bidang-bidang tersebut. Seringkali, fragmentasi informasi antarlembaga intelijen dapat menghambat respons yang efektif. Model kolaborasi yang lebih kuat, baik di tingkat strategis maupun operasional, harus didorong untuk memastikan pertukaran informasi yang lancar dan terkoordinasi.
Meskipun kerja intelijen bersifat rahasia, membangun kepercayaan publik sangat vital di negara demokrasi. Ini bisa dicapai melalui mekanisme pengawasan yang efektif (misalnya, oleh parlemen atau badan independen) dan komunikasi strategis yang menjelaskan peran dan kontribusi intelijen tanpa membahayakan operasi. Tentu saja, ini adalah keseimbangan yang rumit antara kebutuhan akan kerahasiaan dan tuntutan akuntabilitas.
Meskipun teknologi penting, kemampuan untuk mengumpulkan informasi dari sumber manusia (HUMINT) yang beragam dan adaptif tetap tak tergantikan. Ini berarti intelijen harus memahami dinamika sosial, budaya, dan politik di lapangan dengan lebih baik.
Menerapkan paradigma intelijen yang diadvokasi oleh pemikir seperti Blaise Metreweli akan membantu Indonesia membangun sistem intelijen yang lebih kokoh, relevan, dan efektif dalam menjaga keamanan nasional di tengah kompleksitas tantangan global. Ini adalah tentang menjadi lebih cerdas, lebih cepat, dan lebih terhubung dalam menghadapi ancaman yang terus berevolusi.
Ada argumen kuat yang mendukung bahwa latar belakang antropologi sangat berharga dalam dunia intelijen. Ada beberapa alasan mengapa profesi intelijen bisa menjadi bidang yang ideal bagi seorang antropolog.
Memahami Konteks Budaya dan Sosial
Antropologi mengajarkan untuk memahami budaya, masyarakat, dan perilaku manusia dalam konteksnya yang kompleks. Ini adalah keterampilan krusial dalam intelijen.
Alih-alih hanya melihat data mentah, seorang antropolog dapat:
Memahami mengapa kelompok atau individu bertindak seperti yang mereka lakukan, dengan mempertimbangkan nilai-nilai, kepercayaan, dan norma sosial mereka. Mengenali struktur kekuasaan informal, jaringan sosial, dan pergeseran dalam komunitas yang mungkin tidak terlihat oleh analisis konvensional. Antropolog terlatih untuk melihat nuansa budaya dan perubahan kecil dalam perilaku sosial yang bisa menjadi indikator penting bagi ancaman atau peluang.
Empati dan Netralitas Budaya
Seorang antropolog dilatih untuk mendekati budaya asing dengan empati dan objektivitas (netralitas budaya), berusaha memahami dari sudut pandang “orang dalam” tanpa penilaian. Kualitas ini sangat penting dalam intelijen untuk: Membangun Jaringan, Menganalisis Informasi yang Tidak Bias, dan Menghindari Kesalahan Penilaian.
Kemampuan untuk membangun hubungan dan kepercayaan dengan individu dari berbagai latar belakang budaya. Memproses informasi tanpa membiarkan asumsi atau prasangka budaya sendiri mengaburkan penilaian. Banyak kegagalan intelijen di masa lalu disebabkan oleh kurangnya pemahaman budaya dan misinterpretasi. Latar belakang antropologi dapat membantu mengurangi risiko ini.
Penelitian Lapangan dan Keterampilan Observasi Metodologi antropologi sangat bergantung pada penelitian lapangan, observasi partisipan, dan wawancara mendalam. Keterampilan ini sangat relevan untuk operasi intelijen. Kemampuan untuk berinteraksi, mengamati, dan mengumpulkan informasi secara efektif dari sumber manusia di lingkungan yang kompleks. Mampu menyatukan berbagai potongan informasi kualitatif (dari percakapan, pengamatan, dll.) menjadi gambaran yang kohesif.
Blaise Metreweli sebagai Contoh Nyata Antropolog yang Intelejen
Kasus Blaise Metreweli menjadi contoh nyata bagaimana latar belakang antropologi dapat menjadi aset yang luar biasa dalam intelijen tingkat tinggi. Meskipun pekerjaannya bersifat rahasia, sangat mungkin bahwa pemahamannya yang mendalam tentang budaya dan masyarakat di Timur Tengah (salah satu area operasionalnya) memberinya keunggulan dalam analisis dan operasional.
Kemampuan untuk melihat melampaui permukaan dan memahami akar masalah budaya bisa menjadi kunci sukses. Pandangan bahwa profesi intelijen adalah bidang yang sangat cocok, bahkan mungkin yang terbaik, bagi mereka yang memiliki latar belakang antropologi memiliki dasar yang kuat. Peran antropolog dalam intelijen adalah menambahkan dimensi pemahaman manusia yang esensial di tengah dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung.