Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe – Aceh
Pernyataan Menteri Pertanian, Amran Sulaeman, yang menyebut impor beras 250 ton oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) sebagai tindakan ilegal, layak mendapatkan klarifikasi kritis. Tuduhan tersebut tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga mencerminkan ketidakpahaman terhadap status kekhususan Aceh dan urgensi kebutuhan masyarakat Sabang di tengah krisis pangan yang berkepanjangan.
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) secara eksplisit memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk mengatur dan mengurus urusan publik, termasuk ekonomi dan perdagangan. Pasal 167 UUPA menegaskan bahwa Aceh memiliki kewenangan dalam semua urusan pemerintahan kecuali yang menjadi kewenangan eksklusif Pemerintah Pusat.
Selain itu, UU Nomor 37 Tahun 2000 menetapkan seluruh wilayah Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang memungkinkan kegiatan ekspor-impor secara legal dalam rangka menunjang kebutuhan ekonomi wilayah. Dengan kerangka tersebut, impor beras melalui Sabang memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan ilegal.
Kesepakatan damai dalam MoU Helsinki 15 Agustus 2005 juga memperkuat legitimasi tersebut. Butir 1.1.2 dan 1.3.1 memberi kewenangan kepada Aceh untuk mengelola urusan ekonomi, termasuk perdagangan internasional, investasi, dan pembangunan ekonomi daerah. Karena itu, tuduhan ilegalitas bertentangan dengan dokumen damai yang telah diakui secara nasional dan internasional.
Dalam lima belas tahun terakhir, sektor pertanian Aceh mengalami stagnasi serius. Infrastruktur irigasi tidak berkembang, menyebabkan lahan pertanian bergantung pada curah hujan. Di berbagai wilayah, ekspansi perkebunan sawit turut memperburuk kerusakan lingkungan dan memicu banjir yang menghancurkan sawah.
Harga beras terus meningkat tajam, melemahkan daya beli masyarakat, terutama di Sabang yang secara geografis terpisah dari daratan utama. Dalam kondisi tersebut, impor beras merupakan opsi strategis untuk menjamin pasokan dan stabilitas harga. Menolaknya tanpa mempertimbangkan kondisi objektif justru mengorbankan kebutuhan dasar masyarakat.
Ketidakstabilan pasokan pangan berpotensi menimbulkan keresahan sosial dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Reaksi emosional dari elit birokrasi pusat tidak membantu penyelesaian masalah, tetapi justru merusak semangat rekonsiliasi pasca-konflik yang dibangun melalui MoU Helsinki.
Menuduh impor beras Sabang sebagai tindakan ilegal adalah bentuk kekeliruan yang mengabaikan regulasi khusus Aceh dan realitas sosial masyarakatnya. Kebijakan BPKS Sabang justru merupakan langkah konstitusional dan rasional untuk menjaga ketahanan pangan serta mempertahankan martabat otonomi Aceh.
Dengan dasar hukum UUPA, UU Kawasan Sabang, dan MoU Helsinki, impor beras melalui Sabang sah dan konstitusional serta merupakan jawaban konkret atas krisis pangan yang nyata.






