Oleh: Marzuki
(Insinyur dan juga Pemerhati Kebijakan Publik)
Rabu, 17 Desember 2025, seharusnya menjadi hari-hari tenang menjelang pergantian tahun. Namun, rilis data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sore ini menampar kesadaran kita dengan kenyataan yang mengerikan. Di atas kertas laporan pemerintah yang dingin itu, tercatat angka statistik yang berdarah: 1.059 orang meninggal dunia dan 192 orang masih hilang di tiga provinsi utama Sumatera.
Ini bukan sekadar angka. Ini adalah nyawa saudara-saudara kita di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang terenggut oleh bencana yang—harus kita akui dengan jujur—semakin tidak alamiah. Ketika 606.040 jiwa terpaksa menjadi pengungsi di seluruh wilayah terdampak, kita tidak lagi sedang menghadapi “anomali cuaca”. Kita sedang menuai badai dari kerusakan ekologis yang dipelihara oleh keserakahan struktural.
Aceh: Episentrum Derita di Tanah Rencong
Dari total korban jiwa di Sumatera, Aceh menanggung beban terberat. Data per 17 Desember menunjukkan 451 orang meninggal dunia dan 556.016 jiwa mengungsi di tanah Serambi Mekkah ini. Aceh Utara menjadi wilayah paling kelam dengan 166 korban jiwa meninggal, disusul Aceh Tamiang dengan 85 korban jiwa.
Mengapa Aceh Utara dan Tamiang begitu hancur? Jawabannya ada di hulu. Banjir yang merendam Lhoksukon dan sekitarnya adalah kiriman langsung dari dataran tinggi yang hutannya telah beralih fungsi. Kita tidak bisa menutup mata bahwa wilayah hulu DAS yang mengarah ke Aceh Utara adalah lokasi konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) raksasa, termasuk yang terafiliasi dengan lingkaran kekuasaan pusat, seperti PT Tusam Hutani Lestari (THL).
Ketika vegetasi hutan alam diganti dengan tanaman industri monokultur, tanah kehilangan daya cengkeramnya. Air hujan tidak lagi diserap, melainkan meluncur deras membawa lumpur. Fakta bahwa pengungsi di Aceh Utara mencapai 166.920 jiwa dan Aceh Tamiang 208.163 jiwa adalah bukti kegagalan total fungsi hutan penyangga kita. Janji konservasi parsial yang didengungkan awal tahun ini terbukti tak lebih dari gimmick politik yang lenyap ditelan air bah.
Ironi Infrastruktur dan Lambatnya Respons
Di tengah situasi darurat ini, kita mengapresiasi kerja keras TNI dan relawan di lapangan. Laporan BNPB mencatat progres pembangunan jembatan darurat (bailey) yang signifikan. Jembatan Teupin Mane di jalur Bireuen-Bener Meriah telah rampung 100%, dan Jembatan Teupin Reudeup di Awe Geutah sudah mencapai 98%.
Namun, kerja keras di lapangan ini terhambat oleh realitas kerusakan medan yang ekstrem. Tengoklah nasib Jembatan Jeurata yang menghubungkan Pidie dan Aceh Tengah. Progresnya baru 1%. Mengapa? Karena akses menuju lokasi jembatan itu sendiri masih terputus total. Ini adalah simbol ketidakberdayaan kita; infrastruktur hilir hancur karena hulu yang tak terkendali mengirimkan material longsor yang menutup akses.
Lebih memprihatinkan lagi adalah nasib para pengungsi. Hingga tanggal 17 Desember, rencana pembangunan Hunian Sementara (Huntara) di Aceh Utara dan Lhokseumawe—dua daerah terdampak parah—masih berstatus “dalam tahap pengkajian” atau penentuan lokasi. Bandingkan dengan Sumatera Barat, di mana Kabupaten Agam dan Padang Pariaman sudah memulai konstruksi fisik Huntara dengan alat berat yang sudah bekerja. Kelambanan birokrasi di Aceh dalam merespons kebutuhan papan pengungsi ini sangat disayangkan, mengingat ratusan ribu warga kita tidur di tenda darurat di tengah cuaca yang masih memburuk.
Jeritan Kelompok Rentan dan Logistik yang Terhambat
Aspek kemanusiaan dari bencana ini semakin menyayat hati jika kita melihat data terpilah. Di pos-pos pengungsian yang sesak, terdapat 2.203 bayi, 10.650 balita, dan 9.989 lansia yang kondisinya sangat rentan. Mereka adalah kelompok yang paling menderita akibat sanitasi buruk dan dinginnya malam. Selain itu, tercatat ada 1.102 ibu hamil yang kini bertaruh nyawa demi dua kehidupan di tengah bencana.
Distribusi bantuan pun menghadapi kendala besar. Di Sumatera Utara, per tanggal 17 Desember pukul 15.00 WIB, pengiriman logistik via udara terpaksa dihentikan total karena kondisi cuaca buruk. Ini adalah peringatan keras bahwa kita tidak bisa melawan alam. Helikopter canggih sekalipun tak berdaya ketika langit marah. Satu-satunya cara mencegah krisis logistik adalah memastikan bencana skala raksasa ini tidak terjadi lagi, bukan dengan mengandalkan respons darurat semata.
Jejak “Dosa” Hulu yang Tak Terhapus
Bencana akhir tahun 2025 ini harus dibaca sebagai akumulasi “dosa ekologis”. Di Tapanuli Tengah (Sumut), 131 orang meninggal dunia, dan operasi SAR masih mencari 41 orang yang hilang di Sukabangun. Wilayah ini, sama seperti Aceh, dikepung oleh aktivitas ekstraktif masif. Di Sumatera Barat, Kabupaten Agam mencatat 152 korban jiwa, dengan 55 orang masih hilang di Malalak dan Palembayan.
Pola ini seragam di tiga provinsi: wilayah dengan korban terbanyak adalah wilayah yang hulunya dikuasai oleh konsesi tambang, sawit, atau HTI. “Satgas Penertiban” yang dibentuk pemerintah seolah tak bertaji menghadapi korporasi-korporasi yang memiliki backing politik kuat di Jakarta. Perbaikan jembatan dan pembagian mie instan, meski perlu, hanyalah “obat penenang” bagi penyakit kanker stadium lanjut yang menggerogoti ekosistem Sumatera.
Seruan Tobat dan Gugatan Politik
Sebagai masyarakat yang religius, kita sering mendengar seruan untuk bersabar menerima cobaan. Namun, Islam juga mengajarkan kita untuk melawan kemungkaran. Kerusakan lingkungan yang sistematis oleh tangan manusia (fasaad) adalah kemungkaran terbesar hari ini.
Pemerintah Aceh dan DPRA tidak boleh bersembunyi di balik status “bencana nasional”. Kita menuntut transparansi:
1. Moratorium Total: Hentikan seluruh aktivitas penebangan dan pembukaan lahan di wilayah hulu Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Pidie selama status darurat belum dicabut.
2. Percepatan Huntara: Jangan biarkan rakyat Aceh Utara menunggu kajian di atas meja sementara mereka kedinginan. Tiru langkah cepat di Sumatera Barat.
3. Audit Oligarki: Presiden Prabowo harus membuktikan kenegarawanannya. Jika perusahaan-perusahaan di lingkaran kekuasaan terbukti berkontribusi pada laju air bah ini, maka izin mereka harus dicabut, bukan sekadar dievaluasi.
Angka 1.059 nyawa bukan sekadar statistik untuk arsip BNPB. Itu adalah ayah, ibu, dan anak-anak yang mimpinya terkubur lumpur. Jika banjir Desember 2025 ini berlalu tanpa perubahan kebijakan fundamental di sektor kehutanan dan pertambangan, maka kita sesungguhnya sedang menunggu giliran untuk menjadi angka-angka berikutnya dalam laporan bencana tahun depan.






