Ibu, Pemangku Kebijakan di Rumah yang Retak

Ibu, Pemangku Kebijakan di Rumah yang Retak

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Karya: Mauliza Rahmi

Di sudut dapur
yang tak lagi riuh oleh gelak tawa,
seorang ibu berdiri
dalam diam yang panjang.
Tangannya masih cekatan
menyulap sisa-sisa harapan
menjadi nasi hangat dan kopi pagi.

Dialah pemaku kebijakan dalam rumah tangga
yang retaknya tak terdengar,
namun terasa dalam dada.
Setiap keputusan diambil
bukan dengan pena dan stempel,
melainkan dengan cinta
dan luka yang dipendam dalam doa.

Namun, tak semua anak
paham bahasa kasih seperti itu.
Ada yang tumbuh gagah,
namun hatinya pincang.
Durhaka dalam bentuk yang tak lagi klasik-
bukan bentakan,
tapi tuntutan yang terus menggempur,
memanfaatkan raga renta
yang mestinya beristirahat.

Ibunya dijadikan jasa tanpa upah,
tangannya direntangkan tanpa pamrih,
sementara anaknya berdiri di atas pundaknya,
lupa bahwa tulang itu makin rapuh.

Rumah itu bukan lagi surga,
melainkan ladang pengorbanan satu arah.

Dan di tengah reruntuhan itu,
masih ada doa
yang dibisikkan ibu
untuk anaknya yang durhaka:
“Semoga kau kelak paham,
betapa cinta tak pantas dijadikan alat tukar.”

Tag

error: Content is protected !!