Opini: Krisis Nilai di Era AI, Mengapa Kita Harus Belajar dari Socrates dan Aristoteles

Opini: Krisis Nilai di Era AI, Mengapa Kita Harus Belajar dari Socrates dan Aristoteles

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Arizka Munira.

Mahasiswi UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe.

Kemajuan teknologi digital melaju begitu cepat hingga manusia seolah kehilangan kendali atas ciptaannya sendiri. AI, big data, dan algoritma kini menentukan cara kita berpikir, berinteraksi, bahkan mengambil keputusan. Namun muncul pertanyaan mendasar, apakah manusia masih memegang kendali, atau justru telah menjadi budak dari teknologi yang ia ciptakan sendiri?

 

Di era digital ini, berbagai inovasi memberikan kemudahan luar biasa. Namun, di balik itu muncul ancaman serius pelanggaran privasi, penyebaran hoaks, ketergantungan digital, eksploitasi data pribadi, dan bias keputusan berbasis algoritma. Artikel opini di Kompas.id menegaskan bahwa algoritma tidak dapat dianggap netral, sebab teknologi selalu memuat nilai dan kepentingan penciptanya. Jika tidak disertai etika, teknologi berpotensi menjadi alat manipulasi dan ketidakadilan sosial.

 

 

Persoalan ini sesungguhnya telah dipikirkan jauh sebelum teknologi digital muncul. Para filsuf seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles mengajarkan bahwa pengetahuan sejati harus selalu berjalan bersama kebajikan. Bagi mereka, teknologi hanyalah sarana, bukan tujuan akhir. Aristoteles melalui konsep phronesis (kebijaksanaan praktis) menekankan pentingnya kemampuan menggunakan pengetahuan demi kebaikan bersama. Pandangan ini sangat relevan ketika inovasi bergerak lebih cepat dibanding kematangan moral.

 

Prinsip Socrates gnothi seauton – kenali dirimu sendiri – mengajarkan pentingnya kesadaran kritis. Ketika teknologi mempengaruhi perilaku dan pola pikir masyarakat, manusia harus memahami dampaknya bagi dirinya dan lingkungan sosial.

 

 

Kesadaran etis tentang teknologi kini semakin disoroti oleh banyak institusi pendidikan. Universitas Bina Nusantara menekankan bahwa prinsip transparansi, keadilan, dan tanggung jawab harus menjadi dasar pemanfaatan AI. Universitas Medan Area juga menegaskan bahwa penggunaan kecerdasan buatan harus disertai tanggung jawab sosial agar tidak memperdalam ketimpangan.

 

Universitas Gadjah Mada (UGM) mengingatkan bahwa dunia akademik menghadapi tantangan besar terkait integritas akibat kemudahan teknologi AI dalam penyusunan karya ilmiah. Teknologi mempermudah cara, tetapi filsafat mengajarkan mengapa sesuatu harus dilakukan dengan benar. Tanpa fondasi etika, generasi muda berisiko menjadi pengguna pasif yang tak kritis terhadap konsekuensi teknologi.

 

Pandangan ini sejalan dengan artikel Teknologi dan Makna Hidup di Kompas.id oleh Andreas Maurenis Putra, yang menegaskan bahwa teknologi berpotensi membuat manusia kehilangan identitas dan makna hidup jika tidak disikapi dengan bijak.

 

Aristoteles memperkenalkan konsep eudaimonia – kehidupan yang bermakna dan berkualitas. Teknologi seharusnya menjadi alat menuju kehidupan yang lebih baik, bukan merampas nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, perlu ada gerakan kembali kepada filsafat: bukan kembali ke masa lalu, melainkan menghidupkan kembali nilai-nilai universal seperti kejujuran, tanggung jawab, kebijaksanaan, dan penghormatan martabat manusia.

 

Kemajuan teknologi hanya akan bernilai bila sejalan dengan arah moral dan keadilan sosial. Jika tidak, manusia akan kehilangan jati dirinya di tengah hiruk-pikuk digital.

Teknologi harus tetap berada di bawah kendali manusia – bukan manusia yang dikendalikan teknologi.

Topik