Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Transisi kepemimpinan di Indonesia pasca-Joko Widodo tidak berjalan mulus tanpa riak. Munculnya isu dan gerakan pemakzulan terhadap Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka telah menjadi cermin dari krisis kepercayaan publik terhadap integritas proses demokrasi dan bayang-bayang politik masa lalu yang masih menghantui. Gerakan ini bukan sekadar oposisi politik biasa, melainkan respons terhadap serangkaian keputusan yang dianggap melanggar etika dan konstitusi, terutama yang berkaitan dengan figur Gibran dan ayahnya, Presiden Joko Widodo.
Awal Mula Munculnya Isu Pemakzulan Gibran.
Isu pemakzulan Gibran berakar kuat pada kontroversi pencalonannya sebagai Wakil Presiden dalam Pemilu 2024. Kontroversi ini bermula dari perubahan mendadak pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengizinkan seseorang di bawah usia 40 tahun untuk mencalonkan diri asalkan pernah atau sedang menjabat kepala daerah, membuka jalan bagi Gibran yang belum memenuhi syarat usia standar, untuk maju. Putusan ini sangat problematis karena melibatkan Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang notabene adalah ipar dari Presiden Jokowi dan paman dari Gibran.
Hal ini memicu gelombang kritik luas dari berbagai elemen masyarakat, akademisi, dan praktisi hukum, yang menilainya sebagai bentuk “pelanggaran etik berat” dan intervensi politik terang-terangan demi memuluskan jalan politik dinasti. Keterlibatan Gibran dalam pemilu melalui jalur yang dianggap cacat etik inilah yang menjadi pemicu utama gerakan pemakzulan. Masyarakat merasa bahwa proses demokrasi telah dinodai, sehingga legitimasi Gibran sebagai Wakil Presiden dipertanyakan sejak awal.
Situasi “Matahari Kembar” di dalam Pemerintahan Prabowo
Kehadiran Gibran sebagai Wakil Presiden terpilih bersama Prabowo Subianto telah menguatkan narasi tentang fenomena “matahari kembar” dalam pemerintahan mendatang. Konsep ini merujuk pada simbolisme bahwa Jokowi, meskipun tidak lagi menjabat sebagai presiden, akan tetap menjadi kekuatan politik yang sangat berpengaruh, seolah ada “dua matahari” yang menyinari pemerintahan dari “satu takhta.” Marcus Mietzner, misalnya, mencatat bagaimana Jokowi telah membangun “basis dukungan pribadi yang sangat besar” yang mungkin ia gunakan untuk terus memengaruhi arena politik (Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, 2024). Analis lain seperti Ari Hermawan juga menegaskan bahwa Jokowi masih merupakan “kekuatan politik” yang signifikan (Hermawan, 2024).
Dengan Gibran di posisi Wakil Presiden, ada kekhawatiran kuat bahwa ini adalah upaya Jokowi untuk memperpanjang pengaruh dan dinastinya. Ini menunjukkan bahwa meskipun secara formal Prabowo akan memimpin, ia mungkin akan beroperasi dalam “orbit” pengaruh Jokowi. Fenomena ini menciptakan keraguan akan independensi kebijakan pemerintahan baru dan memperparah kekhawatiran tentang “kemunduran demokratis” yang telah didiskusikan secara luas selama masa kepresidenan Jokowi (Mietzner, 2018; Warburton & Aspinall, 2019: 255). Keberadaan Gibran, bagi banyak pihak, adalah representasi fisik dari bayang-bayang politik Jokowi yang enggan pergi.
Pemikiran Politik Mahfud MD tentang Pemakzulan Gibran
Mantan Menkopolhukam dan calon Wakil Presiden, Mahfud MD, adalah salah satu figur publik yang secara eksplisit membahas kemungkinan dan landasan pemakzulan Gibran. Mahfud MD, sebagai ahli hukum tata negara, memahami bahwa pemakzulan adalah mekanisme konstitusional yang sah, meskipun sulit untuk dijalankan. Dalam berbagai kesempatan, Mahfud MD menyatakan bahwa jika ada bukti kuat mengenai pelanggaran konstitusi atau etika berat, proses pemakzulan bisa saja terjadi. Pemikirannya menyoroti bahwa legitimasi proses pencalonan Gibran yang dianggap cacat etik bisa menjadi dasar argumen untuk pemakzulan, terutama jika ada indikasi penyalahgunaan kekuasaan atau pelanggaran sumpah jabatan (meskipun ini akan menjadi proses hukum dan politik yang sangat panjang dan kompleks).
Pandangan Mahfud MD ini memberikan bobot hukum dan moral pada gerakan pemakzulan, meskipun ia juga mengakui tantangan praktis dalam mewujudkannya. Dengan posisinya sebagai seorang ahli hukum yang kritis terhadap dinamika politik saat ini, suaranya kerap menjadi rujukan bagi pihak-pihak yang menyuarakan pentingnya penegakan hukum dan etika dalam berpolitik.
Jokowi dan Ranjau-Ranjau Politik yang Sudah Ditebarnya
Situasi saat ini tidak bisa dilepaskan dari warisan politik Joko Widodo yang telah digambarkan oleh beberapa pengamat sebagai “ranjau-ranjau” yang ditebar sepanjang masa jabatannya. Analisis menunjukkan adanya “belokan otoriter” (Mietzner, 2018; Power, 2018: 307-338) dan “kemunduran demokrasi” (Hadiz, 2017: 261) selama pemerintahannya.
Greg Fealy menyoroti adanya “pluralisme represif, dinasti, dan negara yang mendominasi” di era Jokowi (Fealy, 2020: 301). Selain itu, Airlangga Pribadi Kusman (2025) bahkan menyoroti “Indonesia yang gelap” dan “warisan populisme predator” Jokowi.
Berbagai kebijakan dan tindakan, mulai dari pelemahan lembaga-lembaga independen, perubahan regulasi yang kontroversial, hingga dugaan intervensi dalam proses politik, telah menciptakan kekhawatiran tentang kualitas demokrasi Indonesia. Shimada Yuzuru (2024) juga menganalisis perubahan hukum selama administrasi Joko Widodo yang dianggap sebagai kemunduran demokrasi. Konflik kepentingan dan dugaan cawe-cawe politik, khususnya dalam mendukung pencalonan Gibran, menjadi puncak dari “ranjau-ranjau” ini. Ranjau-ranjau ini tidak hanya mencakup masalah hukum dan etika, tetapi juga menciptakan polarisasi yang mendalam di masyarakat, dan kini kembali meledak dalam bentuk gerakan pemakzulan. Gerakan ini adalah manifestasi dari akumulasi kekecewaan terhadap apa yang dianggap sebagai penggerogotan nilai-nilai demokrasi demi kepentingan politik praktis.
Kesimpulan
Maraknya gerakan pemakzulan Gibran dari posisi Wakil Presiden adalah gejala dari tantangan serius yang dihadapi demokrasi Indonesia. Ia bukan sekadar tuntutan hukum, melainkan juga ekspresi kekecewaan kolektif terhadap politik dinasti, dugaan pelanggaran etik, dan kemunduran demokratis yang telah terjadi. Situasi “matahari kembar” yang diakibatkan oleh pengaruh kuat Jokowi, ditambah dengan “ranjau- ranjau politik” yang telah ia tebar, menjadikan posisi Gibran sangat rentan dan memicu ketidakpuasan yang meluas. Masa depan gerakan ini akan sangat bergantung pada kekuatan politik dan konsistensi oposisi, serta respons dari pemerintah dan lembaga-lembaga demokrasi yang masih berfungsi.
Bibliografi
Jiashu Fang. 2024. “Interviewing Indonesia’s outgoing President: A/Prof Marcus Mietzner writes about Jokowi.” Coral Bell School of Asia Pacific Affairs. [https://bellschool.anu.edu.au/psc/content-centre/article/interview/interviewing-indonesias-outgoing-president-aprof-marcus](https://bellschool.anu.edu.au/psc/content-centre/article/interview/interviewing-indonesias-outgoing-president-aprof-marcus). Fealy, Greg. 2020. “Jokowi in the Covid-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and the Overbearing State.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 56(3): 301–23. Hadiz, Vedi R. 2017. “Indonesia’s Year of democratic Setbacks: Towards a New Phase of Deepening Illiberalism?” Bulletin of Indonesian Economic Studies 53(3): 261–78. Hermawan, Ary. 2024. “Is Jokowi still a political force?” Indonesia at Melbourne. [https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/is-jokowi-still-a-political-force/](https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/is-jokowi-still-a-political-force/).
Kusman, Airlangga Pribadi. 2025. “‘Dark Indonesia’ and Jokowi’s legacy of predatory populism.” Indonesia at Melbourne. [https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/dark-indonesia-and-jokowis-legacy-of-predatory-populism/](https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/dark-indonesia-and-jokowis-legacy-of-predatory-populism/).
Mietzner, Marcus. 2018. “Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 54(3): 307–38. Power, Thomas P. 2018. “Jokowi’s authoritarian turn and Indonesia’s democratic decline.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 54.3 (2018): 307-338.
Shimada, Yuzuru. 2024. “Legal Changes during Joko Widodo’s Administration – Backsliding of Democracy?” Politics of Marginalisation in Indonesia: The Jokowi Era, 55(2). Heidelberg Asian Studies Publishing. [https://hasp.ub.uni-heidelberg.de/journals/iqas/article/view/27207](https://hasp.ub.uni-heidelberg.de/journals/iqas/article/view/27207). Warburton, Eve, and Edward Aspinall. 2019. “Explaining Indonesia’s Democratic Regression: Structure, Agency and Popular Opinion.” Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs 41(2): 255–78.