MediaKontras.id | Aceh Utara – Di sebuah sudut sunyi di Desa Lancang Barat, Kecamatan Dewantara, berdiri sebuah rumah kayu yang condong nyaris ambruk. Di dalamnya, hidup lima jiwa dalam keterbatasan yang membisu. Dua dari mereka adalah anak berkebutuhan khusus yang tetap setia menunggu
Hari itu, tepatnya selasa (15/07), Lembaga Peduli Dhuafa (LPD) Aceh Utara datang didampingi Kepala Dusun. Rumah tampak kosong. Salam kami dijawab oleh anak-anak yang sedang bermain rumah-rumahan, tepat di bawah tumpuan rumah yang nyaris roboh. Beberapa menit kemudian, Kak Syarbani dan suaminya tiba.
Wate angen pot, Pat neu eh, kak? ( Waktu angin kencang dimana tidur kak), tanyak Sri Wahyuni. Hinoe kamo eh (disini kami tidur), lon lake bak poe bek na kejadian sapu (saya selalu memohon kepada Maha kuasa, jangan sampai terjadi apa-apa kepada keluarga saat angin kencang,” ucap Kak Syarbani pelan, saat tim LPD menemuinya.
Kak Syarbani baru pulang dari “tueng upah” bekerja sebagai buruh pembuat batu bata di tempat orang. Sementara suaminya, baru selesai mengangkut bata ke atas truk.
“Satu truk itu dibayar 60 ribu. Kami kerja berempat, jadi dapat 15 ribu seorang,” jelas sang suami.

Itu artinya, pendapatan harian mereka hanya Rp 15.000 per orang.
Tak berselang lama, anak bungsu yang masih duduk di bangku kelas 2 SMP datang dalam kondisi lusuh, baru pulang dari membantu membuat batu bata demi uang jajannya di sekolah. Sementara dua anak lainnya yang berkebutuhan khusus belum tampak. Kata sang ibu, pagi itu mereka harus mencuci tikar dan selimut—karena kakaknya yang sudah berusia 30 tahun masih mengompol hampir setiap malam.
Potret Kemiskinan yang Menunggu Jawaban

Kisah keluarga Syarbani bukan sekadar cerita sedih. Ini adalah potret nyata kemiskinan ekstrem yang selama ini hanya jadi angka dalam laporan statistik pemerintah.
Pemerintah Aceh Utara, dalam berbagai forum, sering menyuarakan komitmen pengentasan kemiskinan dan perlindungan disabilitas. Namun, di rumah Syarbani, komitmen itu belum berjejak.
Rumah mereka bocor, nyaris roboh, tak layak huni. Penghasilan keluarga jauh di bawah garis kemiskinan.
Dua anak disabilitas hidup tanpa perhatian khusus. Anak bungsu bekerja di usia sekolah.
Dalam geliat rencana pembangunan dan proyek-proyek bernilai miliaran rupiah di Aceh Utara, keluarga seperti Syarbani seolah tak terlihat. Mereka hanya terdengar jika disorot media, atau jika rumah benar-benar rubuh dan memakan korban.
Perwakilan LPD Aceh Utara, Sri Wahyuni, menyampaikan kami mengajak pihak pemerintah daerah, DPRK, Dinas Sosial, relawan kemanusiaan, dan masyarakat luas – untuk bersama-sama hadir dan membantu. ”Karena jika satu rumah nyaris roboh saja tak mampu kita selamatkan, bagaimana kita bicara soal pembangunan daerah,” pintanya.
Perwakilan LPD Aceh Utara, Sri Wahyuni, menyampaikan kami mengajak pihak pemerintah daerah, DPRK, Dinas Sosial, relawan kemanusiaan, dan masyarakat luas – untuk bersama-sama hadir dan membantu. ”Karena jika satu rumah nyaris roboh saja tak mampu kita selamatkan, bagaimana kita bicara soal pembangunan daerah,” pintanya.