MediaKontras.id | Pemerintah Aceh Utara melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (PRKP) mengalokasikan dana mencapai Rp300 juta untuk merehab berat delapan unit rumah dinas Kejaksaan dari Dana Bagi Hasil (DBH) Tahun Anggaran (TA) 2025. Namun miris warga kurang mampu di Aceh Utara yang masih tinggal di rumah tidak layak hunian terabaikan dan tidak mendapatkan rehab rumah, Kamis, 26 Juni 2025.
Proyek ini adalah Rehabilitasi Berat 8 Unit Rumah Dinas Kejaksaan Negeri Kab. Aceh Utara, senilai Rp300 juta bersumber Dana Bagi Hasil (DBH) dengan spesifikasi luas bangunan 500 m2 1 (Paket x 51.9732511 M2) dan ditentukan penggunaannya Bidang Pekerjaan Umum. Dengan nilai perencanaan Rp23.041 juta, serta nilai pengawasan Rp16.129 juta.
Belum cukup disitu saja, Pengadilan Negeri (PN) Lhoksukon juga kecipratan dan mendapat anggaran Rp50 juta tergolong relatif kecil.
Sumber dana lainnya dari Pajak Air Tanah Pembangunan Gedung sederhana berlantai Spesifikasi Luas 500 m2 Pembangunan Gedung sederhana berlantai Rehab Kantor Pengadilan Negeri (PN) Lhoksukon senilai Rp50 juta.
Anggaran ini kontras dengan kebutuhan masyarakat miskin yang masih banyak tinggal di rumah tidak layak huni, seperti tidak adanya fasilitas dasar seperti MCK, atau hidup di lingkungan kumuh.
Jadi, alokasi anggaran untuk fasilitas negara—apabila dinilai tidak seimbang dengan kebutuhan dasar masyarakat—menimbulkan pertanyaan serius mengenai keadilan dan prioritas anggaran publik.
Dengan masih banyaknya kebutuhan mendesak seperti rumah layak, rasanya wajar jika ini menciptakan kekhawatiran dan kesenjangan yang berarti.
Anggaran Rp50 juta untuk PN Lhoksukon memang tampak kecil, tapi secara prinsip menimbulkan kontroversi.
Di sisi lain, jika dibandingkan dengan tantangan besar terkait hunian masyarakat miskin, tampak seperti prioritas yang timpang. Apakah itu indikasi bahwa distribusi anggaran belum mencerminkan kebutuhan sosial paling mendesak? kemungkinan ya.
Transparansi dan partisipasi publik sangat penting, anggaran semacam ini seharusnya dibahas dengan keterlibatan masyarakat agar prioritas anggaran lebih menurut rasa keadilan kolektif.
Pendekatan kebutuhan dasar mendahulukan perumahan layak dan infrastruktur dasar harus menjadi prioritas utama sebelum memperbaiki fasilitas negara. Semoga Aceh Utara bangkit kebijakan berpihak pro-rakyat.
Ada celah besar antara prioritas penyediaan rumah negara dan kebutuhan dasar masyarakat miskin.
Maka distribusi anggaran—terutama pada sektor hunian rakyat—harus dipertimbangkan kembali agar lebih relevan dan berdampak nyata.
Apa perlu ada desakan publik agar alokasi dana semacam ini direview kembali? Atau mungkin mencari kanal transparansi dan advokasi di DPRK atau Pemkab Aceh Utara?
Aktivis Koordinator Badan Pekerja Jaringan Rakyat Anti Korupsi (JaRAK) Asra Rizal saat di wawancarai MediaKontras.id menyampaikan. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap APBK Aceh Utara Tahun Anggaran 2025 setelah di lakukan efesiensi berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Efiesiensi terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Negara/APBN serta Anggaran pendapatan Belanja Daerah (APBD) setelah dilakukan perbaikan berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025.
Kami mendapatkan laporan adanya alokasi anggaran untuk rehab berat 8 Unit Rumah Dinas Kejaksaan Negeri Aceh Utara sebesar Rp300 juta yang ditempatkan pada pada Dinas PRKP Aceh Utara.
“Hal ini menjadi tanda tanya kami kenapa ada alokasi Anggaran pada APBK TA. 2025 hasil Efesiensi untuk rehab berat 8 Unit rumah Dinas Kejaksaan Negeri Aceh Utara,” jelas Asra Rizal saat di wawancarai di ruangan kerjanya, pada hari Rabu, (25/06/2025).
Sedangkan pada kegiatan infrastruktur lainya justru terpangkas untuk menutupi Efisiensi Anggaran secara Nasional.
“Ini bentuk kezaliman yang kami kira serta mengenyampingkan terhadap hak-hak rakyat dan kami mengecam alokasi Anggaran tersebut,” tegasnya dengan spontan.
“Dan kami meminta kepada Dinas PRKP Aceh Utara untuk menunda tender terhadap kegiatan rehab berat 8 rumah Dinas Kejaksaan Negeri Aceh Utara dan mematikan Alokasi Anggaran dari APBK TA. 2025 tersebut dan dialihkan kepada kegiatan publik lainnya,” pintanya.
Karena masih banyak rumah masyarakat di 852 desa di 27 Kecamatan yang harus menjadi prioritas utama yang terkena dampak dari efesiensi.
“Kami dengan tegas meminta kepada Jaksa Agung dan Kejati Aceh serta Asisten Pengawasan/Aswas Kejati Aceh untuk mengawasi seluruh proses kinerja pada Kejaksaan Negeri Aceh Utara”. demikian. [red]