Air bah datang tanpa aba-aba. Ia menyeret rumah, kenangan, dan masa depan ratusan keluarga di Kampung Sekumur. Ketika banjir bandang itu pergi, yang tersisa hanyalah puing, lumpur, dan sunyi yang panjang.
Di tengah sunyi itulah Marlina Muzakir yang lebih dikenal sebagai Kak Na – menjejakkan kaki.
Sejak bencana banjir, longsor, dan banjir bandang melanda 18 kabupaten/kota di Aceh pada 25 November 2025, Ketua TP PKK Aceh ini tak berhenti bergerak. Siang dan malam ia tempuh. Sungai diseberangi, jalan berlumpur ditaklukkan, bahkan udara ia belah dengan helikopter, demi memastikan bantuan menjangkau wilayah yang nyaris terputus dari dunia luar.
Banyak wajah pilu telah ia temui. Banyak tangis yang ia peluk. Namun air mata sendiri selalu ia tahan.
“Pemimpin harus menjadi penenang,” katanya suatu ketika. “Kita datang bukan hanya membawa bantuan, tapi juga harapan.”
Di Sekumur, ketegaran itu runtuh. Kampung kecil di Kecamatan Sekrak itu seolah disapu dari peta. Rumah-rumah lenyap tanpa sisa. Tanah berubah menjadi ladang puing. Hanya satu bangunan yang masih berdiri tegak masjid – menjadi saksi bisu kedahsyatan bandang yang meluluhlantakkan segalanya.
“Hancur total,” ucap Kak Na lirih.
“Saya tak sanggup membayangkan bagaimana anak-anak di sini menjalani hari. Mereka bermain di antara sisa kehancuran, dan pulang ke pondok-pondok darurat yang dibangun dari apa pun yang tersisa.”
Di tempat itu, tangisnya akhirnya pecah. Bukan sebagai pejabat. Bukan sebagai istri gubernur. Melainkan sebagai seorang ibu yang melihat anak-anak kehilangan ruang aman bernama rumah.
Namun tangis tak lama tinggal. Kak Na mengusap air mata, lalu kembali tersenyum. Senyum yang dipaksakan untuk menjadi sandaran bagi warga. Di halaman masjid, ia membagikan biskuit kepada anak-anak – senyum kecil yang menjadi cahaya di tengah reruntuhan.
Menjelang senja, saat rombongan bersiap menyeberangi Sungai Simpang Kanan, langkah Kak Na terhenti. Dari sebuah pondok kecil terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an. Suara itu milik Sariah (58).
Perempuan itu kehilangan rumahnya. Kehilangan hampir segalanya. Kini ia tinggal di pondok berukuran 2×2 meter, dibangun dari kayu dan serpihan yang diseret banjir bandang. Di atas tanah bekas rumahnya dan ratusan rumah lain di Sekumur jini bertumpuk kayu-kayu gelondongan besar, sisa amukan alam.
Kak Na duduk sejenak. Mendengar. Menyemangati. Di kampung ini, menurut Sekretaris Desa M. Saiful Juari, hidup 260 kepala keluarga atau sekitar 1.200 jiwa. Mereka bertahan di antara lumpur dan harapan yang tipis, sambil menunggu uluran tangan negara.
Sebelum tiba di Sekumur, Kak Na dan rombongan telah menyalurkan bantuan ke Posko Kampung Pulau Tiga di Masjid Baitussalam, Kecamatan Tamiang Hulu, serta ke sejumlah posko lainnya di Kampung Babo, Kecamatan Bandar Pusaka.
Bagi Kak Na, bantuan bukan hanya soal logistik. Kesehatan menjadi perhatian utama. Ia tahu banjir merendam puskesmas dan pustu, memutus akses layanan dasar bagi warga.
Karena itu, di setiap posko, ia selalu meminta daftar obat-obatan yang paling dibutuhkan. Satu per satu dicatat. Satu per satu diupayakan.
Di Sekumur, air mata Kak Na menjadi bahasa yang tak terucap bahwa di balik puing dan lumpur, Aceh masih memiliki harapanselama kemanusiaan tak ikut hanyut bersama banjir.






