Opini: Aceh Diabaikan TNI dalam Strategi Indo-Pasifik? Ini Suara Pemuda Ujung RI

Opini: Aceh Diabaikan TNI dalam Strategi Indo-Pasifik? Ini Suara Pemuda Ujung RI

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Rizki Fauzan
(Masyarakat – Pemuda Aceh)

Di tengah keriuhan geopolitik Indo-Pasifik, Indonesia berdiri sebagai simpul strategis yang tak bisa diabaikan. Super Garuda Shield (SGS) 2025, menjadi panggung besar militer dunia di tanah air. Hal tersebut kembali digelar mewah oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama Amerika Serikat dan puluhan negara sahabat. Di balik sorotan global dan bendera diplomasi, tapi satu titik tetap berada dalam absen dari pembicaraan: Aceh.

Opini tajam ini membongkar mengapa Aceh harus dilibatkan secara aktif dalam narasi pertahanan-sebelum magma sejarahnya kembali meletus.

Aceh, di ujung Barat negeri, diam di luar panggung radar, tapi menyimpan magma sejarah dan geopolitik yang tak pernah benar-benar padam.

Sebagai pemuda yang lahir dan besar di Aceh, saya melihat diamnya Aceh dalam narasi ini bukan sebagai bentuk aman, tapi sebagai tanda tanya besar. Mengapa Aceh—wilayah paling barat Indonesia, berbatasan langsung dengan jalur laut internasional dan Laut Andaman—tidak menjadi bagian dari simulasi, latihan, atau bahkan komunikasi pertahanan?

Apakah Aceh tidak penting? Atau memang sengaja dilupakan?
Aceh adalah kunci geografis strategisnya:
•Selat Malaka di utara Aceh adalah jalur vital ekonomi dunia dan militer.
• Berdekatan dengan kawasan geopolitik India, Myanmar, hingga Laut Cina Selatan.

Aceh memiliki sejarah panjang relasi unik dengan negara-baik paska damai maupun konflik. Melupakan Aceh berarti mengabaikan perisai paling barat republik ini. Bisa memicu resistensi diam-diam.

Ironisnya, karena Aceh pernah menjadi titik masuk pertama kolonialisme, sekaligus tempat lahirnya banyak tokoh pejuang nasional.

Apakah ini kelalaian strategis? Atau justru sebuah keputusan politik yang diam-diam ingin mengerdilkan peran Aceh dalam arsitektur pertahanan nasional?

Tapi dalam konteks strategis Indo-Pasifik yang semakin kompleks, ketidakterlibatan Aceh adalah bentuk celah. Dan setiap celah dalam pertahanan adalah potensi ancaman.

Potensi ancaman: Indonesia terlihat condong ke blok Barat (AS dan sekutu), meski secara prinsip menganut politik bebas aktif. Ini bisa memicu respon keras dari Tiongkok, baik secara diplomatik maupun ekonomi. Indonesia terancam dijadikan medan proxy conflict jika ketegangan militer meningkat.

Terutama kekuatan utama seperti Amerika Serikat dan sekutunya, tentu bukan sekadar manuver militer biasa. Di balik perisai diplomasi dan retorika kerja sama, latihan ini secara implisit membawa potensi ancaman – baik dalam skala regional, nasional, maupun kedaulatan internal Indonesia.

Tapi ketika narasi pertahanan dibangun, Aceh seperti tak masuk dalam peta prioritas. Namun hingga kini, belum tampak langkah serius melibatkan Aceh secara aktif-baik dalam narasi pertahanan maupun dalam ruang kolaborasi komunikasi publik yang dibahas dalam forum itu.

Aceh: Di Peta Tapi Diabaikan
Secara geografis, Aceh adalah pelindung barat Indonesia, penjaga selat strategis Malaka, dan pengawas arus perdagangan global yang melintasi kawasan. Namun dalam realitas pertahanan nasional, Aceh lebih sering hadir sebagai nama administratif daripada aktor aktif.

Dalam latihan seperti SGS, Aceh tidak masuk dalam simulasi utama. Tidak jadi lokasi manuver. Tidak pula terlihat dalam agenda komunikasi strategis seperti PAO SMEE 2025 antara TNI dan USINDOPACOM.

Ini bukan soal ketinggalan giliran. Ini soal kegagalan membaca letusan yang mungkin datang dari arah yang tak disangka.

Ketika Narasi Dipusatkan, Daerah Menyimpan Bara.

Latihan militer modern tak hanya soal senjata dan taktik. Ini era perang informasi, komunikasi strategis, dan kendali narasi. Public Affairs Officer (PAO) bukan hanya juru bicara, tapi arsitek persepsi. Mereka menentukan bagaimana publik, media, bahkan dunia memandang operasi militer.

Di sinilah letak masalahnya: Aceh tak dilibatkan dalam instrumen narasi nasional. Padahal Aceh bukan wilayah biasa:
– Ia punya sejarah luka terhadap negara.
– Ia punya kesadaran identitas yang tinggi.
– Ia memiliki rasa percaya yang rapuh tapi penting.

Membiarkan Aceh di luar narasi pertahanan nasional adalah membiarkan bara dalam tanah mengendap tanpa suara.

Sebagai pemuda Aceh kami merekomendasikan Libatkan Kodam Iskandar Muda secara aktif dalam rantai komando komunikasi dan jurnalis lokal Aceh dalam simulasi komunikasi strategis SGS 2025.

Hasil PAO SMEE 2025 tidak boleh berhenti di meja perwira tinggi. Ia harus diterjemahkan menjadi aksi nyata di daerah.

•Buka ruang partisipasi media independen Aceh dalam publikasi, diseminasi, dan produksi konten pertahanan-sipil.

•Dorong keterlibatan pemuda dan tokoh adat Aceh sebagai penghubung sosial dalam struktur pertahanan non-fisik.

TNI harus melihat jarum kompas membangun kepercayaan publik secara terbuka di wilayah-wilayah strategis seperti Aceh-bukan hanya Java-sentris. Sementara pusat perhatian lebih condong ke timur Indonesia atau perairan Natuna, barat Indonesia tampak sunyi. Padahal, dari baratlah ancaman bisa datang dengan cepat-baik dari infiltrasi laut, serangan siber, maupun pengaruh geopolitik asing. Karena kita terlalu sibuk mengatur api di tempat lain.

Magma Sejarah yang masih hangat
Istilah “Aceh harus dilibatkan secara aktif” bukan retorika. Itu adalah panggilan strategis untuk menyentuh lapisan terdalam dari psikologi sosial dan politik Aceh.

Aceh juga menyimpan kekuatan sosial budaya yang bisa diperkuat menjadi modal pertahanan non-militer: ketahanan komunitas, lokal wisdom maritim, dan solidaritas rakyat.

Apakah karena “jauh dari pusat”, maka Aceh tak dianggap cukup relevan?
Kami tidak ingin Aceh hanya dibutuhkan saat krisis muncul.

Karena di Aceh: Militer bukan sekadar institusi – ia adalah simbol masa lalu.
Kehadiran asing bisa menjadi pemantik trauma. Narasi dominan dari pusat bisa dibaca sebagai hegemoni baru. namun dilupakan saat strategi disusun.

Jika Aceh tidak diajak bicara, ia akan menciptakan narasinya sendiri.
Dan jika negara lalai, narasi itu bisa lebih dekat ke perlawanan daripada persatuan.

Membaca arah Potensi, Bukan Menunggu Krisis Aceh bisa dan harus:
Menjadi pusat pelatihan komunikasi krisis dan kontra disinformasi.

Menjadi ruang uji doktrin civil-military relation yang lebih manusiawi dan dialogis. Menjadi titik strategis dalam arsitektur pertahanan maritim Indonesia.

Bukan karena Aceh menuntut. Tapi karena Indonesia butuh Aceh untuk tetap utuh di panggung global yang penuh tekanan ini.

Kesimpulan: Diam Bukan Damai

Aceh hari ini tampak tenang. Tapi tenang bukan berarti padam. Sejarah Aceh tidak hilang – ia hanya membeku, menunggu suhu politik yang cukup panas untuk mencair kembali. Jika negara terus mengabaikan, Aceh bisa menjadi pusat dari gelombang narasi tandingan yang membelah, bukan menyatukan.

Karena magma tak pernah mati. Ia hanya menunggu celah erupsi – dan negara yang lupa. Jika negara ingin mempertahankan kedaulatannya di seluruh batas, maka ia juga harus mengakui eksistensi batin dan aspirasi rakyatnya di batas itu. Aceh tidak berisik. Tapi bukan berarti tak memendam tanya. Ketika strategi pertahanan dibahas, jangan jadikan Aceh hanya titik di peta-jadikan ia bagian dari keputusan.

Opini ini bagian dari serial “Pertahanan dari Pinggir Republik”, Kirim respons dan opini tandingan ke:
mediakontras.id@gmail.com.

Tag

error: Content is protected !!