Opini: Dendrophobia dan Durjana Penebangan Pohon di Aceh: Sebuah Refleksi Ekologis dan Sosial

Opini: Dendrophobia dan Durjana Penebangan Pohon di Aceh: Sebuah Refleksi Ekologis dan Sosial

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp MediaKontras.ID

Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.

Aceh dikenal bukan hanya karena sejarah perjuangannya dan kedalaman tradisi Islamnya, tetapi juga oleh lanskap tropis yang hijau, angin laut yang teduh, dan barisan pohon-pohon besar yang menjadi saksi waktu. Namun beberapa tahun terakhir, pemandangan tersebut mulai menghilang. Satu per satu pepohonan ditebang—tidak untuk kepentingan lingkungan, tapi atas nama “penataan”, proyek anggaran, atau lebih parah lagi: ulah pengidap dendrophobia,yakni fobia atau kebencian terhadap pohon.

Kasus terbaru yang mengguncang ruang publik Aceh adalah penebangan “Pohon Jeju” di kawasan wisata Pantai Ulee Lheue, Banda Aceh. Pohon tersebut dikenal masyarakat karena bunganya yang menyerupai sakura, menjadi ikon musiman yang dinanti-nanti tiap tahun. Keindahannya bukan hanya bernilai estetis, tetapi juga sosial: warga berkerumun untuk berfoto, bersantai, dan merayakan momen-momen bahagia di bawahnya.

Namun seperti banyak pohon lainnya, Jeju pun tumbang. Ditebang oleh individu tak dikenal, yang menurut sejumlah rumor memiliki gangguan psikologis berupa dendrophobia ketakutan irasional terhadap pohon. Jika benar, maka ini bukan sekadar pelanggaran ekologis, melainkan tindakan durjana terhadap ruang hidup bersama.

Ketika APBD Menjadi Alat Perusakan
Yang lebih menyedihkan, kasus ini bukanlah yang pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pohon besar di Banda Aceh dan sekitarnya ditebang dengan dana APBD, atas alasan yang tidak selalu jelas. Beberapa disebut sebagai bagian dari “revitalisasi trotoar”, “pengurangan risiko tumbang”, atau “penataan kota”. Tapi ironisnya, banyak pohon sehat yang justru lenyap, digantikan paving block panas dan tiang besi steril yang meniadakan teduh.

Pertanyaan yang pantas diajukan: Apakah ada survei pohon sebelum dilakukan penebangan massal? Apakah masyarakat diajak berdiskusi? Di mana suara ahli ekologi lokal? Jika pohon adalah bagian dari hak publik atas lingkungan hidup yang sehat, maka setiap tindakan terhadapnya harus melalui proses yang transparan.

Dendrophobia: Gangguan atau Dalih?
Dalam psikologi, dendrophobia tergolong sebagai jenis fobia spesifik yang jarang ditemukan. Tapi di Aceh, istilah ini menjadi metafora sosial atas mereka yang tak tahan melihat kehijauan, atau memiliki sikap permusuhan terhadap ruang tumbuh alami. Mereka bukan sekadar takut—mereka aktif menyingkirkan pohon dari ruang publik. Entah karena trauma pribadi, persepsi urban yang salah, atau motif ekonomi tersembunyi.


Jika pengidap dendrophobia diberi kuasa dan ruang untuk bertindak tanpa pengawasan, maka yang tumbang bukan hanya pohon, tapi juga nilai-nilai ekosistem perkotaan, kesejukan sosial, dan identitas ekologis masyarakat Aceh.

Saatnya Membela Pohon, Membela Kehidupan
Pohon bukan hanya benda diam – ia adalah penjaga udara, penyangga tanah, pengatur suhu, dan pelipur lara. Di tengah perubahan iklim, kehilangan pohon bukan saja kehilangan oksigen, tapi juga kehilangan harapan. Pohon-pohon tua di Aceh seharusnya diberi status warisan alam, dijaga seperti nisan-nisan sejarah.


Masyarakat, akademisi, dan aktivis lingkungan perlu bersatu membentuk gerakan perlindungan pohon Aceh, mendorong peraturan daerah yang tegas, dan menolak penebangan yang tidak berdasar. Bahkan, saatnya merumuskan “Hak Pohon” sebagai bagian dari ekologi hukum lokal.
Satu pohon Jeju telah ditebang, tapi semangat kita untuk menghijaukan Aceh tidak boleh ikut tumbang.

Dari akar yang dirusak, kita bisa menumbuhkan gerakan baru – gerakan yang percaya bahwa Aceh lebih indah dengan pohon-pohon yang tumbuh, bukan proyek-proyek yang menebang.

Pohon hidup, maka Aceh pun hidup.

Tag

error: Content is protected !!