Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
Pada era kelabu akhir 1990-an, tepatnya menjelang kejatuhan rezim Orde Baru, Jakarta diselimuti bayang-bayang teror yang mengerikan. Gelombang reformasi kian membesar, dipicu oleh krisis ekonomi moneter dan tuntutan akan demokrasi yang merata. Di garis depan gerakan ini berdiri para aktivis mahasiswa, muda, idealis, dan berani menantang kemapanan. Mereka adalah suara rakyat yang tertindas, simbol harapan akan perubahan.
Hilang dalam Senyap: Kisah Penculikan Aktivis 1998
Namun, keberanian ini harus dibayar mahal. Di tengah riuhnya demonstrasi dan diskusi bawah tanah, sebuah operasi senyap dilancarkan oleh tangan-tangan rezim yang tak terlihat. Satu per satu, para aktivis mulai menghilang. Bukan ditangkap secara resmi, melainkan diculik, ditarik paksa dari kehidupan mereka, dari keluarga dan teman-teman, seolah ditelan bumi.
Malam-malam mencekam di tahun 1997-1998 menjadi saksi bisu. Mobil-mobil tak dikenal tanpa plat nomor berseliweran di Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang dan kota-kota kecil di Jawa. Pria-pria tegap berambut cepak, kadang mengenakan safari, kadang preman, muncul tiba-tiba. Mereka menyergap para aktivis di jalanan sepi, di depan rumah, bahkan di tengah keramaian.
Saksi mata gemetar, tetapi tak berdaya. Jeritan teredam, perlawanan sia-sia.
Nama-nama seperti Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, Mugiyanto, Faisol Riza, dan Nezar Patria adalah sebagian dari mereka yang merasakan kengerian itu. Ditarik ke dalam mobil van tertutup, mata ditutup, tangan diikat. Mereka dibawa ke tempat- tempat rahasia, di mana waktu seolah berhenti dan identitas mereka dilucuti. Hari-hari dan minggu-minggu berikutnya adalah neraka: interogasi tanpa henti, intimidasi psikologis, dan kekerasan fisik yang tak terbayangkan. Tujuan para penculik jelas: mematahkan semangat, membungkam perlawanan, dan menghancurkan jaringan gerakan reformasi anti korupsi, kolusi dan nepotisme Orde Baru.
Namun, yang paling mengerikan adalah nasib mereka yang tak pernah kembali. Wiji Thukul, penyair yang lantang menyuarakan keadilan, Petrus Bimo Anugerah, Herman Hendrawan, Suyat, Widji Joko, Hendro Penasaran, Yadin Muhidin, Abdun Naser, Novartis, Dedi Hamdun, Ismail, Ucok Siahaan, Yani Afri, dan Sonny—mereka adalah para aktivis yang hilang tanpa jejak. Keluarga mereka, hingga kini, masih menanti kabar, meratapi ketidakpastian, dan menuntut keadilan.
Penculikan ini bukan sekadar tindakan kriminal biasa, tetapi merupakan pelanggaran HAM berat yang terorganisir yang dilakukan oleh alat-alat negara. Ini adalah upaya sistematis untuk memadamkan api reformasi dengan menargetkan para aktivisnya. Kisah penculikan 1998 adalah luka menganga dalam sejarah modern Indonesia, sebuah pengingat abadi akan harga yang harus dibayar demi kebebasan dan demokrasi. Ia terus menjadi desakan bagi penuntasan kasus dan penegakan keadilan bagi para korban dan keluarga mereka.
Stockholm Syndrome
Fenomena ini memang memicu perdebatan sengit di ruang publik, terutama mengingat latar belakang Prabowo Subianto sebagai mantan Danjen Kopassus yang namanya dikaitkan dengan Tim Mawar dalam kasus penghilangan orang secara paksa pada periode 1997-1998 (Ashri, 2021). Penunjukan mantan aktivis seperti Faisol Riza, Budiman Sudjatmiko, Agus Jabo Priyono, dan Nezar Patria sebagai bagian dari kabinet menimbulkan pertanyaan etis dan moral yang mendalam. Secara konseptual, Sindrom Stockholm merujuk pada ikatan psikologis yang terbentuk antara sandera dan penculik, di mana sandera mulai mengembangkan perasaan positif terhadap penculiknya (De Fabrique et al., 2007: 10). Namun, apakah “Sindrom Stockholm Berjamaah” ini benar-benar mencerminkan kondisi psikologis massal, atau lebih sebagai metafora politik untuk menunjukkan pergeseran ideologi atau pragmatisme? Beberapa penelitian bahkan mempertanyakan apakah Sindrom Stockholm merupakan diagnosis psikiatri yang valid atau hanya mitos urban (Namnyak et al., 2008: 4-11), meskipun Adorjan et al. melihatnya sebagai “sumber vernakular” yang relevan secara sosiologis (Adorjan et al., 2012: 454). Dalam konteks manajemen, fenomena ini bisa dianalogikan sebagai bentuk adaptasi atau bahkan identifikasi dalam situasi kekuasaan yang timpang (Parker, 2006: 39).
Dalam kasus “Sindrom Stockholm Berjamaah” ini bisa dimaknai sebagai fenomena di mana kelompok yang dulunya diadvokasi sebagai korban pelanggaran HAM—atau setidaknya berada di posisi oposisi terhadap kekuasaan yang represif —kini justru bekerja sama dengan representasi simbolik dari sistem yang dulu mereka lawan. Implikasinya, menurut Anda, adalah bahwa mereka harus memiliki “kekuatan moral untuk hidup secara sederhana, seperti tokoh idola mereka (Tan Malaka),” sebuah tuntutan terhadap konsistensi ideologi dan etika setelah masuk ke dalam lingkaran kekuasaan.
Keterlibatan mereka dengan “jejaring Tim Mawar” juga menggarisbawahi paradoks ini. Pelanggaran HAM masa lalu, termasuk penghilangan paksa, masih menjadi tuntutan pertanggungjawaban yang belum tuntas di Indonesia (Hutagalung, 2005; Fitria & Setyadi, 2020). Dengan masuknya para aktivis ini ke pemerintahan, muncul pertanyaan tentang bagaimana mereka akan menyikapi isu-isu HAM masa lalu yang pernah menjadi bagian dari perjuangan mereka (Renyaan, Lailossa, & Budiman, 2023). Penangkapan telah menyebabkan munculnya moral torment. Semoga hati nurani mereka masih sebening ketika sebelum mereka ditangkap dulu.[]
Bibliografi
Adorjan, Michael, et al. “Stockholm syndrome as vernacular resource.” The Sociological Quarterly 53.3 (2012): 454-474. Ashri, Abdul Munif. Penegakan Hak atas Kebenaran dalam Kasus Penghilangan Orang secara Paksa Periode 1997-1998. Diss. UNIVERSITAS HASANUDDIN, 2021.
De Fabrique, Nathalie, et al. “Understanding stockholm syndrome.” FBI L. Enforcement Bull. 76 (2007): 10.
Fitria, Eza Yolanda, and Yusuf Setyadi. “Kasus Pelanggaran HAM dan Upaya Penegakan HAM di Indonesia.” (2020).
Hutagalung, Daniel. “Negara dan Pelanggaran HAM Masa Lalu: Tuntutan Pertanggungjawaban Versus Impunitas.” Jurnal Dignitas 3.1 (2005).
Namnyak, Mary, et al. “‘Stockholm syndrome’: psychiatric diagnosis or urban myth?.” Acta Psychiatrica Scandinavica 117.1 (2008): 4-11.
Parker, Martin. “Stockholm syndrome.” Management Learning 37.1 (2006): 39-41. Renyaan, Hasan, Pier AL Lailossa, and Arif Budiman. Tatanan yang Dirindukan. JSI Press, 2023.