Oleh: Dr. (cand.) M. Saifuddin Umar
Doktoral di UIN Sunan Ampel, Surabaya.
Umar Patek, lahir dengan nama Hisyam pada Juli 1966 di Pemalang, Jawa Tengah, adalah seorang warga negara Indonesia yang dikenal karena keterlibatannya dalam aksi terorisme, khususnya sebagai salah satu perakit bom dalam peristiwa Bom Bali I tahun 2002.
Patek diketahui mulai terlibat dalam aktivitas militan sejak awal 1990-an di Malaysia, di mana ia bertemu dengan tokoh senior Jemaah Islamiyah (JI). Ia kemudian menerima pelatihan militer di akademi mujahidin di Pakistan dan Afghanistan antara tahun 1991 hingga 1995, termasuk belajar tentang penggunaan senjata dan pembuatan bom. Setelah itu, ia pindah ke Filipina selatan dan terlibat dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF).
Pada tahun 2000, Umar Patek kembali ke Indonesia dan dituduh terlibat dalam serangkaian pengeboman gereja pada Malam Natal 2000, meskipun ia membantah membuat bom untuk serangan tersebut. Ia kemudian terlibat dalam perencanaan dan perakitan bom yang digunakan dalam serangan di Bali pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang. Setelah peristiwa tersebut, Patek menjadi buronan internasional selama hampir satu dekade, dengan hadiah satu juta dolar AS untuk penangkapannya.
Ia akhirnya ditangkap pada 25 Januari 2011 di Abbottabad, Pakistan, di kota yang sama tempat Osama bin Laden terbunuh beberapa bulan kemudian. Patek kemudian diekstradisi ke Indonesia. Pada Juni 2012, ia divonis 20 tahun penjara atas perannya dalam Bom Bali 2002 dan pengeboman lainnya.
Selama menjalani masa hukuman di Lapas Kelas I Surabaya, Umar Patek berpartisipasi dalam program deradikalisasi pemerintah Indonesia. Ia menunjukkan perubahan perilaku dan pada akhirnya menyatakan kesetiaannya kepada NKRI. Pada Desember 2022, setelah menjalani lebih dari separuh masa hukumannya, Umar Patek diberikan pembebasan bersyarat. Saat ini, ia berstatus sebagai “klien pemasyarakatan” dan berupaya menata hidup baru, termasuk dengan membuka usaha kedai kopi.
Kopi Ramu 1966 yang dirintis oleh Umar Patek menarik banyak perhatian dan sering disebut sebagai contoh nyata dari keberhasilan program deradikalisasi yang dijalaninya. Berita tentang usahanya ini telah banyak diliput oleh media, yang menyoroti pergeseran fokusnya dari masa lalu yang kelam menuju kehidupan yang lebih produktif dan positif.
Kopi Ramu 1966: Simbol Transformasi dan Integrasi Kopi Ramu 1966, yang dinamai berdasarkan tahun kelahirannya, bukan sekadar kedai kopi biasa. Ini menjadi simbol dari transformasi pribadi Umar Patek. Sebagimana juga dipilih Kalimat Ramu adalah kebalikan dari nama Umar ,Inisiatifnya untuk belajar meracik kopi dan memulai usaha ini merupakan bagian dari upaya pembinaan kemandirian yang ia dapatkan selama di lembaga pemasyarakatan.
Usaha ini secara efektif menunjukkan bahwa individu yang pernah terlibat dalam terorisme bisa berubah dan berintegrasi kembali ke masyarakat. Ini memberikan harapan dan bukti nyata bagi program deradikalisasi.
Keberadaannya mendapat dukungan dan pemantauan dari pihak berwenang seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kementerian Hukum dan HAM, yang melihatnya sebagai role model. Liputan media yang intens, baik nasional maupun internasional, turut mengangkat profil Kopi Ramu 1966 dan menjadikannya cerita yang inspiratif tentang penebusan.
Meskipun masih ada pro dan kontra terkait pembebasannya, upaya Patek untuk berwirausaha dan menunjukkan dedikasi pada kehidupan normal cenderung mendapat apresiasi dari sebagian masyarakat yang melihatnya sebagai langkah positif.
Kopi Ramu 1966 diharapkan tidak hanya menjadi sumber penghasilan bagi Umar Patek, tetapi juga platform untuk menunjukkan kepada publik bahwa mantan narapidana terorisme dapat menjadi bagian yang konstruktif dari masyarakat. Keberlanjutan dan perkembangan usahanya akan terus menjadi indikator penting dalam menilai dampak jangka panjang dari program deradikalisasi yang ia jalani.
Paragon of Success of Deradikalisasi
Umar Patek, terpidana kasus Bom Bali I tahun 2002, sering disebut sebagai contoh kasus keberhasilan program deradikalisasi di Indonesia. Ia adalah ahli perakit bom yang pernah menjadi buronan internasional, namun kemudian ditangkap dan dihukum 20 tahun penjara. Selama menjalani masa pidana di Lapas Kelas I Surabaya, Porong, Sidoarjo, Umar Patek mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan lembaga terkait lainnya.
Melalui dialog dan seminar teologi yang sering melibatkan mantan narapidana terorisme lain yang sudah bertobat, ia diajak untuk memahami kembali ajaran agama dari perspektif yang lebih moderat dan nasionalis. Pelatihan keterampilan hidup, seperti yang terbaru adalah kemampuannya meramu kopi, untuk mempersiapkan dirinya kembali ke masyarakat.
Umar Patek secara terbuka menyatakan kesetiaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mengakui bahwa pemahaman radikalnya selama ini adalah salah. Ia bahkan menyatakan kesediaannya untuk membantu pemerintah memerangi terorisme.
Pada Desember 2022, Umar Patek mendapatkan pembebasan bersyarat setelah menjalani 11 tahun masa tahanan dan menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan. Pembebasan ini memicu berbagai reaksi, baik di Indonesia maupun Australia, terutama dari para korban Bom Bali. Namun, pihak berwenang Indonesia, termasuk BNPT dan Kementerian Hukum dan HAM, menyebutnya sebagai model keberhasilan program deradikalisasi.
Pasca-bebas, Umar Patek menjadi “klien pemasyarakatan” yang wajib mengikuti program pembimbingan hingga April 2030. Ia kini mencoba menata hidupnya dengan membuka usaha kopi, yang juga menjadi sorotan media sebagai bukti transformasinya.
Meskipun demikian, ada pula pandangan yang mengkritisi “glorifikasi” keberhasilan ini, mengingat masih banyak mantan narapidana terorisme lain yang mungkin belum sepenuhnya deradikalisasi.
Namun, kasus Umar Patek secara luas dianggap sebagai indikator positif bahwa pendekatan humanis dan kolaboratif dalam program deradikalisasi dapat membuahkan hasil dalam mengubah pandangan ideologis ekstrem. Didik Novi Rahmanto bersama Adrianus Eliasta Meliala dan Ferdinand Andi Lolo (2020) mengkaji dekonstruksi ideologi bagi mantan kombatan ISIS yang kembali ke Indonesia. Mereka membahas strategi dan tantangan dalam mengubah pandangan radikal individu-individu ini.
Dalam penelitian mereka, mereka menyoroti bahwa proses dekonstruksi ideologi teroris seperti ISIS di Indonesia melibatkan pendekatan multi-dimensi. Mereka menganalisis bagaimana “dekonstruksi ideologi ISIS bagi para returnees di Indonesia” dilakukan (Rahmanto, Meliala, & Lolo, 2020: 381). Artikel ini membahas strategi yang diterapkan oleh pemerintah dan lembaga terkait, serta bagaimana mantan kombatan merespons upaya-upaya tersebut.
Bibliografi
Rahmanto, Didik Novi, Adrianus Eliasta Meliala, and Ferdinand Andi Lolo. “Ideology deconstruction of Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) returnees in Indonesia.” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 10.2 (2020): 381-408.